Kantor Imigrasi Lhokseumawe Diduga Jadi Sarang Percaloan: Masyarakat Mengeluh, Transparansi Dipertanyakan

Lhokseumawe — Aroma percaloan diduga kuat menyelimuti pelayanan publik di Kantor Imigrasi Kelas II -TPI Lhokseumawe. Sejumlah warga mengaku harus mengeluarkan biaya di luar ketentuan resmi untuk mempercepat proses administrasi keimigrasian. Praktik semacam ini menimbulkan keresahan di tengah masyarakat yang menuntut transparansi dan integritas lembaga negara.

 

“Katanya semua sudah serba online, tapi tetap saja bisa lewat jalur calo dari orang dalam,” ungkap seorang warga berinisial M, saat ditemui wartawan, Selasa (22/10/2025).

 

Menurut M, praktik tersebut diduga melibatkan oknum pegawai internal dan petugas keamanan (security). Ia juga menuturkan bahwa biaya tambahan yang diminta tidak tercatat dalam Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagaimana mestinya, melainkan disetorkan langsung ke oknum tertentu.

 

“Biayanya jauh di atas tarif resmi. Kalau tidak mau ikut ‘jalur cepat’, berkas bisa ditunda-tunda. Padahal semua tarif resmi sudah jelas tertulis di dinding kantor,” keluhnya dengan nada kecewa.

 

Lebih jauh, M menyoroti bagian Intelijen dan Penindakan Keimigrasian (Inteldakim) yang dinilai lamban memproses berkas. “Padahal aturan PNBP sudah jelas, misalnya denda paspor rusak atau hilang ada ketentuannya. Tapi di sini seperti ada aturan lain yang tak tertulis,” tambahnya.

 

Seorang sumber internal yang enggan disebutkan namanya mengakui bahwa praktik “bantuan berbayar” memang sudah lama terjadi.

 

“Yang bermain bukan orang luar, tapi justru orang dalam sendiri yang memfasilitasi. Biasanya security atau staf tertentu yang sudah tahu alurnya,” ujarnya.

 

Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan serius mengenai efektivitas pengawasan internal dan komitmen pemberantasan pungutan liar di lingkungan imigrasi. Padahal, lembaga ini merupakan garda depan pelayanan publik yang berkaitan langsung dengan hak-hak warga negara.

 

Dugaan praktik percaloan mencederai semangat reformasi birokrasi, Imigrasi adalah wajah negara di mata rakyat. Jika di sana saja masih terjadi praktik tak transparan, maka sangat mustahil masyarakat bisa percaya pada sistem pelayanan publik yang bersih.

 

Transparansi dan akuntabilitas seharusnya menjadi roh utama setiap pelayanan publik. Ini bukan hanya soal uang, tapi tentang keadilan dan rasa percaya publik terhadap institusi.

 

Sementara, hingga berita ini diturunkan, pihak Kantor Imigrasi Lhokseumawe belum memberikan keterangan resmi. Upaya konfirmasi yang dilakukan wartawan melalui

Kepala seksi teknologi informasi keimigrasian, Izhar Rizki, via telepon dan pesan singkat belum mendapat tanggapan.

 

Kasus ini menambah daftar panjang persoalan birokrasi yang diwarnai dugaan praktik percaloan di berbagai instansi.

 

Masyarakat mendesak Kementerian Hukum dan HAM melalui Kantor Wilayah Aceh segera turun tangan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelayanan di Lhokseumawe. Audit internal, pengawasan lapangan, hingga sanksi tegas bagi oknum dinilai penting untuk memulihkan kepercayaan publik.

 

Transparansi bukan sekadar jargon administratif, melainkan fondasi kepercayaan publik terhadap negara. Jika praktik percaloan dibiarkan, maka cita-cita pelayanan publik yang bersih hanya akan menjadi slogan tanpa makna. (SR)